Kode etik profesi merupakan
suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode
etik yang memiliki sanksi yang agak uk dalam kategori norma hukum yang didasari
kesusilaan.
Kode Etik juga dapat
diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara
sebagai pedoman berperilaku dan berbudaya. Tujuan kode etik agar
profesionalisme memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai jasa atau
nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Prinsip-Prinsip Etika
Profesi
Dalam menjalankan
profesi, seseorang perlu memiliki dasar-dasar yang perlu diperhatikan,
diantaranya:
1. Prinsip
Tanggung Jawab. Seorang yang memiliki profesi harus mampu bertanggung jawab
atas dampak yang ditimbulkan dari profesi tersebut, khususnya bagi orang-orang
di sekitarnya.
2. Prinsip
Keadilan. Prinsip ini menuntut agar seseorang mampu menjalankan profesinya
tanpa merugikan orang lain, khususnya orang yang berkaitan dengan profesi
tersebut.
3. Prinsip
Otonomi. Prinsip ini didasari dari kebutuhan seorang profesional untuk
diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menjalankan profesinya.
4. Prinsip
Integritas Moral. Seorang profesional juga dituntut untuk memiliki komitmen
pribadi untuk menjaga kepentingan profesinya, dirinya, dan masyarakat.
KODE ETIK PROFESI
KONSELOR
A. Indikator Keberhasilan Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor dapat:
1. Menguraikan
persoalan etis dan profesional.
2. Memahami
etika,moral,norma,dan nilai
3. Memahami pentingnya
kode etika profesi
4. Mendiskripsikan
keterbatasan kode etik
5. Menerapkan
pengambilan keputusan etik.
B. Uraian Materi
1. Persoalan Etis dan
Profesional
Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan dan
pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan
pengguna sesuai dengan martabtt, nilai, potensi, dan keunikan individu
berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu
pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam kaji terapan konseling yang
diwarnai oleh budaya pihak-pihak terkait. Dengan demikian paradigma konseling
adalah pelayanan bantuan psikopendidikan dalam bingkai budaya. Dari sudut
pandang profesi bantuan (helping profession) pelayanan konseling diabdikan bagipeningkatan
harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara menfasilitasi perkembangan individu
atau kelompok individu sesuai dengan dengan kekuatan, kemampuan potensial dan
aktual serta peluang-peluang yang dimilikinya, dan membantu mengatasi kelemahan
dan hambatan serta kendala yang dihadapi dalam perkembangan dirinya. Sebagai
pekerjaan profesional, maka cara kerjanya diatur dalam kode etik yang jelas.
Kode etik adalah kode moral yang menjadi landasan kerja bagi pekerja
profesional.
Etik merupakan standar tingkah laku standar seseorang, atau
sekelompok orang, yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap
kelompok profesi pada dasarnya merumuskan standar tingkah lakunya yang
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesional.
Standar Tingkah Laku profesional itu diterjemahkan dari nilai-nilai masyarakat
ke dalam bentuk cita-cita yang terstruktur dalamhubungannya dengan orang lain,
kliennya dan masyarakat. Terjemahan nilai-nilai sebagai bentuk standar itu
dirumuskan ke dalam “kode etik profesi” (Hansen, 1982:438). Setiap pekerja
profesional harus mempunyai perhatian terhadap tanggungjawab dan jaminan etis
mereka. Masalah-masalah etis sering menjadi hal yang sangat sulit bagi
orang-orang yang mempunyai profesi membantu karena beberapa alasan.
Pertama,
praktek-praktek etis khusus atau kode etik masih berkembang yang memberikan
arahan yang selayaknya terhadap perilaku etis dalam situasi-situasi yang sangat
luasyang dijumpai dalamhubungan-hubungan personal yang bersifat membantu. Kedua,
sebagian besar pekerja dalam profesi membantu tidak melakukan praktek
sendirian. Operasional profesionalitas mereka muncul dalam konteks institusi
sekolah, kampus, rumah sakit, gereja, dan agensi pribadi yang mempunyai
sistem-sistem nilai institusional yang mungkin cukup berbeda dalam kelompok
profesional yang ditujukan oleh para pekerja dalam bidang ini. Dalam profesi
membantu tampaknya akan menemui situasi-situasi di mana jaminan-jaminan etis
menjadi tumpang tindih dan konflik. Sering kali terjadi, mereka bekerja secara
simultan terhadap beberapa orang yang terkait dengan hubungan interpersonal
yang sangat dekat dengan diri mereka. Etik meliputi “membuat keputusan yang
bersifat moral tentang manusia dan interaksi mereka dalam masyarakat
(Kitchener,1986:306). Etik sering juga disebut moralitas dan dalam beberapa
kasus kedua istilah ini saling tumpang tindih. Keduanya berhub ungan dengan
“apa yang dikatakan baik dan yang buruk atau studi tentang tingkah laku manusia
dan nilai-nilai (van Hoose & Kottler,1985:2). Meskipun demikian
masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Etik secara umum didefinisikan
sebagai ilmu filsafat mengenai tingkah laku manusia dan pengambilan keputusan
moral (Van Hoose & Kottler,1985:3). Etik bersifat normatif dan berfokus
pada prinsip-prinsip standar yang mengatur hubungan antara individu, seperti
hubungan antara konselor dan klien. Moralitas meliputi penilaian atau evaluasi
perbuatan. Ini berhubungan dengan kata-kata seperti baik, buruk, salah,
seharusnya dan harus (Brandt,1959;Grant,1992). Konselor memiliki moral,dan di
dalam teori yang digunakan konselor tertanam asumsi moral tentang sifat manusia
yang secara eksplisit dan implisit akan mempertanyakan: pertama, ”Apakah
manusia itu? Dan yang kedua, “Bagaimana seharusnya manusia itu?”
(Christopher,1996:18). Sebagai kelompok,konselor profesional berhubungan dengan
etik dan nilai. Bahkan banyak konselor menghadapi keluhan etika dengan
kesungguhan yang sama seperti menghadapi tuntutan perkara hukum (Chauvin &
Remley,1996).
Bagaimanapun juga ada beberapa konselor yang lebih melek atau
lebih akrab dengan isu-isu ini. Patterson (1971) melihat bahwa identitas
keprofesionalan konselor berhubungan dengan pengetahuan dan praktik etik
mereka. Welfel (2006) menambahkan bahwa keefektifan dari konselor berhubungan
dengan pengetahuan etik dan tingkah laku mereka. Tingkah laku tidak beretik
dalam konseling bentuknya bermacam-macam. Godaan umum yang dirasakan orang,juga
dialami konselor. Diantaranya termasuk keintiman fisik, gosip yang menggairahkan,atau
kesempatan (jika berhasil) untuk meningkatkan karir seseorang. (Welfel &
Lipsitz,1983b:328). Beberapa bentuk tingkah laku tidak etis jelas dan
terencana, sementara lainnya lebih halus dan tidak terencana. Berikut ini
adalah beberapa tingkah laku tidak etis yang paling sering dalam konseling
(ACA,2005; Herlihy & Corey, 2006):
a. Pelanggaran
kepercayaan
b. Melampaui tingkat
kompetensi profesional seseorang
c. Kelalaian dalam
praktik
d. Mengklaim keahlian
yang tidak dimiliki
e. Memaksakan
nilai-nilai konselor kepada klien
f. Membuat klien
bergantung
g. Melakukan aktivitas
seksual dengan klien
h. Konflik kepentingan,
seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur dengan hubungan lainnya,
baik hubungan pribadi atau hubungan profesional (Moleski & Kiselica,2005)
i. Persetujuan
finansial yang kurang jelas, seperti mengenakan bayaran tambahan
j. Pengiklanan yang
tidak pantas
k. Plagiarisme
2. Etika, Moral, Norma
dan Nilai
Istilah etika, moral,
norma dan nilai sering tidak bisa dibedakan secara jelas, dan seiring mengacu
pada hukum yang berlaku secara umum di masyarakat. Etika adalah sebuah cabang
filsafat yang membicarakan nilai dan norma, moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan
pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli nilai, norma dan moral
tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai,
norma dan moral. Etika adalah sebuah refleksi ktritis dan rasional mengenai
nilai, norma dan moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola
perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
Menurut Bertens
(1999:6) etika mempunyai tiga arti: Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau
norma-norma moral yang yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa dirumuskan juga sebagai sistem
nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf
sosial. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud
disini adalah kode etik. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan
nilainilai yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima oleh
masyarakat---seringkali tanpa disadari---menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat
moral. Menurut Algernon D. Black (1990:11) etika adalah ilmu yang mempelajari
cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik. Etika
mempertanyakan pandangan orang dan mencari kebenarannya.
Istilah moral
kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan ”etika”.
“Moral” berasal dari kata Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara,
tingkah akhlak, cara hidup (Lorens Bagus,1966:672). Dalam bahasa Inggris dan
banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (kamus Bahasa Indonesia,1988),
kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata “etika” sama
dengan etimologi “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat
kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: etika dari bahasa Yunani, dan moral
dari bahasa Olatin. Jika kita sekarang memandang arti kata “moral”, perlu kita
simpulkan bahwa artinya sama dengan “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma
yang menjaid pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya,kita mengatakan, bahwa perbuatan si A tidak bermoral,
artinya,kita menganggap perbuatan si A melanggar nilai-nilai dan norma-norma
etis yang berlaku dalam masyarakat. Istilah moral lebih sering dipergunakan
untuk menunjukkan kode, tingkah laku dan adat atau kebiasaan dari individu atau
kelompok-kelompok, seperti bila seseorang membicarakan tentang moral orang
lain. Disini moral sama artinya dengan kata Yunani ethos dan kata Latin mores
(Dagobert D.Runes,1977:202). Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk
melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban”atau “norma”. Moral
dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya tindakan manusia.
Helden (1977) dan
Richards (1971) merumuskan pengertian moral sebagai suatu kepekaan dalam
pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang
tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
Atkinson (1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang
baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan.
Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat
berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang harus dicoba dilakukan
oleh manusia. Moralitas atau sering disebut ethos ialah sikap manusia berkenaan
dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya. “Ethos” terkadang
diartikan untuk menunjukkan karakter tertentu. berkaitan dengan yang terakhir
ini didasarkan pada unggulnya satu nilai khusus, unggulnya sikap moral dari
satu nilai khusus, atau sikap moral dari seluruh bangsa atau kelompok sosial.
Sebuah tindakan yang baik secara moral ialah tindakan bebas manusia yang
mengafirmasikan nilai ethis obyektif dan yang mengafirmasikan hukum moral.
Buruk secara moral ialah sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum
moral. Suatu tindakan bebas dikatakan tidak peduli/indiferen secara moral kalau
ia tidak baik pun pula tidak butuk berkenaan dengan obyeknya. Namun, tindakan
bebas manusia dalam hal tertentu, konkret selalu baik atau pun buruk. Karena,
paling tidak maksud manusia dalam menjalankan tindakan itu tidak indiferen
secara moral---atau baik atau buruk. Sumber dari seluruh kepatutan dan
ketidakpatutan moral, pertama keputusan bebas kehendak, kemudian, sikap bajik
yang timbul dari keputusan bebas tersebut, dan akhirnya, pribadi atau subyek
moral.
Moralitas mempunyai
arti yang pada dasarnya sama dnegan “moral”, hanya lebih abstrak. Bila kita
berbicara tentang “moralitas” suatu perbuatan, artinya segi moral suatu
perbuatan atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan baik dan buruk.
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik
sebagai manusia. Moralitas ini terkandung dalam ajaran berbentuik
petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang
diwariskan secara turun menurun melalui agama atau kebudayaan tertensu. Isi
ajaran adalah tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar menjadi
manusia yang baik dan bagaimana manusia harus menghindari perilakuperilaku yang
tidak baik. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang berkaitan
dengan baik dan buruk. Dari segi obyektif soal moral mempunyai nilai yang dalam
arti tertentu, tidak bersyarat dan mutlak, meskipun ia bukan tidak terbatas.
Nilai ini bersama dengantujuan tertinggi manusia dan hukum Ilahi merupakan
dasar kekuatan hukum moral kodrat yang mengikat dan tak bersyarat. Tujuan
tertinggi manusia adalah kebahagiaan. Ini akan tercapai di dunia lain karena
manusia menjadi milik Allah. Keburukan (kejahatan) moral ditandai
ketidakpatutan mutlak yang tidak dapat diikmbangi nilai lain manapun betapaun
tingginya. Nilai mutlak dari tatanan moral memerlukan kepatuhan kehendak
manusia di samping kecondomngan-kecondongan ingat diri. Etika dan moral
mempunyai fungsi yang sama,yaitu memberi orientasi bagaimana kita harus
melangkah dalam hidup ini. Perbedaannya, moralitas langsung mengatakan kepada
kita, “Inilah cara Anda harus melangkah”. Sedangkan etika mempersoalkan “Apakah
saya harus melangkah dengan cara itu?” dan “mengapa saya harus melangkah dengan
cara itu?” Etika sebagai ilmu tentang tingkah laku manusia tidak saja
mempertanyakan alasan terjadinya dan baik tidaknya tindakan itu; melainkan
juga,apa akibatnya secara lahir dan batin. Atas dasar itulah,etika lebih dalam
dan lebih luas daripada moral. Moral dan etika saling berkaitan, sebab kalau
kita berbicara moral sudah tentu kita berbicara tentang etika, dan sebaliknya.
Norma berarti ukuran, garis pengarah,atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan
penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam satu masyarakat dan telah
tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama.
Segala hal yang diberi nilai, indah, berguna, diusahakan untuk diwujudkan dalam
perbuatan. Sebagai hasil dari usaha tersebut, timbullah ukuran perbuatan atau
norma tindakan. Norma ini jika telah diterima oleh anggota masyarakat sellalu
mengandung sangsi dan penguatan (reinforcement), yaitu (a) jika tidak dilakukan
sesuai dengan norma,maka hukumannya adalah celaan dan sebagainya, (b) jika
dilakukan sesuai dnegan norma, maka pujian, balas jasa, dan sebagainya adalah
imbalannya. Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin)
berarti berguna, mampu akan, berdaya,berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu
hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, atau
dapat menjadi obyek kepentingan. Menurut pandangan relalitivisme (a) nilai
bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan,
ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan, dan sebagainya) baik secara
sosial dan pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau
keturunan; (b) nilai berbeda dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; (c)
penilaian seperti benar/salah, baik/buruk, tepat/tidak tepat, tidak dapat
diterapkan padanya; dan (d) tidak ada, dan tidak dapat ada nilai-nilai
universal, mutlak dan obyektif manapun yang dapat diterapkan pada semua orang
pada segala waktu. Pandangan obyektivitas menyatakan bahwa nilai-nilai seperti
kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan
sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata, dalam bentuk
(rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemukan obyekobyek,
kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah. Teori
obyektivitas nilai adalah pandangan yang menyatakan bahwa nilainilai adalah
obyektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi
cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pandangan
subyektivitas nilai bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan,
tidak ada dalam dunia real obyektif tetapi merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap
pribadi,dan merupakan penafsiran atas kenyataan. Menurut Steeman (dalam Eka
Darmaputra,1999) nilai adalah yang memberi makna kepada hidup, yang memberi
kepada hidup ini titik-tolak, isi dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang
dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu
lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut tindakan. Nilai seseorang
diukur melalui tindakan, oleh sebab itu etika menyangkut nilai. Nilai dapat
dianggap sebagai “keharusan-keharusan” suatu cita yang menjadi dasar bagi
keputusan-keputusan yang diambil. Nilai-nilai itu merupakan bagian kenyataan
yang tidak dapat dipisahkan atau diabadikan. Setiap orang bertingkah laku
sesuai dengan seperangkat nilai-nilai, baik nilai-nilai yang sudah merupakan
hasil pemikiran dan tertulis maupun yang belum. Oleh sebab itu, konselor tidak
mungkin berada pada kedudukan yang netral atau tidak memihak dalam kaitannya
dengan nilai-nilai tertentu. Isu moral dan etika dalam konseling erat kaitannya
dengan pertanyaan tentang nilai. Salah satu kontribusi penting yang dibuat oleh
para pendiripsikologi humanistik, seperti Maslow dan Rogers, adalah penekanan
terhadap arti penting dari konsep nilai. Nilai dapat didefinisikan sebagai
keyakinan kuat bahwa suatu kondisi akhir atau mode perbuatan adalah sesuatu
yang dapat diterima. Rokeach (1973) membedakan antara nilai “instrumental” dan
“terminal”. Nilai “terminal” merujuk kepada kondisi akhir yang diharapkan
seperti kebijaksanaan, kenyamanan, keamanan, atau kebebasan. Nilai “instrumental”
berkaitan dengan cara yang menjadikan tujuan ini dapat dicapai. Misalnya
melalui kompetensi, kejujuran, atau ambisi. Rokeach (1973) berpendapat bahwa
sebagian besar orang akan menyetujui nilai seperti “ekualitas”, dan cara
terbaik untuk menguak sistem nilai personal yang memandu perilaku seseorang
adalah dengan menanyakan nilai yang dipilihnya. Misalnya seseorang bisa saja
menilai ekualitas lebih tinggi dibandingkan dengan kebebasan, sedangkan yang
lain justru menempatkan kedua nilai ini dalam urutan yang berbeda. Karenanya
studi tentang nilai adalah studi yang kompleks. Meskipun demikian, beberapa
studi telah menunjukkan bahwa nilai para konselor mempengaruhi nilai yang
dipegang oleh klien. Kecenderungan yang ditunjukkan dalam sebagian besar studi
adalah adanya hubungan antara nilai yang dipegang oleh klien dengan yang
dimiliki oleh konselor (Kelly,1989). Temuan ini menimbulkan beberapa pertanyaan
terhadap praktik konseling. Apakah konselor memaksakan nilai mereka kepada
klien? Apakah konseling harus dipandang sebagai sebuah bentuk sosialisasi
serangkaian nilai tertentu? Survei yang dilaksanakan di Amerika Serikat, Kelly
(1995) menemukan bahwa, dibandingkan dengan seluruh populasi, konselor memiliki
nilai yang tinggi dalam nilai kebaikan (perhatian terhadap kebahagian orang
lain), pengarahan diri, otonomi, dan ekspresi diri, tapi sangat rendah dalam
kekuasaan (yang didefinisikan sebagai aspirasi terhadap status dan otoritas
terhadap yang lain) dan tradisi (penerimaan dan penghargaan terhadap adat). Hampir
90% para konselor ini mengindikasikan orientasi religius atau spiritual.
Terakhir, terdapat tingkatan yang tinggi dari keterbukaan pikiran dan toleransi
keyakinan dan pilihan seksual orang lain dan ini mengidentifikasikan bahwa
konselor dapat dengan baik memisahkan antara nilai pribadinya dengan nilai yang
dianut oleh klien. Ada konsensus tingkat tinggi dikalangan para konselor yang
menjawab kuisioner ini. Ini bisa saja mengindikasikan eksistensi profil nilai
“clinicalhumanistik” tertentu, sebagaimana ditawarkan oleh Bergin (1980),atau
mungin merupakan hasil dari kebijakan politik yang mengarah kepada serangkaian
jawaban terhadap kuisioner “yang benar”. Meskipun demikian, pola nilai
clinical-humanistik yang ditemukan oleh Kelly (1995) mencakup dimensi religius
yang kuat, meskipun masih banyak konselor dimensi diekspresikan melalui nilai
spiritual daripada melalui ketaatan religius konvesional. Temuan bahwa konselor
tidak berorientasi kekuasaan, dan mempertanyakan tradisi, menguatkan ide yang
menyatakan bahwa konseling merepresentasikan serangkaian nilai moral yang pada
tingkatan tertentu di luar aliran utama masyarakat kapitalis Barat. Ini juga
menunjukkan adanya keyakinan kepada konsep yang menyatakan bahwa salah satu
efek dari konseling dan psikoterapi adalah mensosialisasikan klien kedalam
serangkaian nilai ini. Sebagai bentuk tanggapan terhadap pertanyaan moral dan
etika yang muncul dari kerja mereka, konselor dapat merujuk kepada beragam
level kebijakan atau pengetahuan moral. Kitchener (1984) mengidentifikasi empat
level pemikiran moral berbeda yang dijadikan sandaran oleh konselor: instuisi
personal, panduan etik yang dibakukan oleh organisasi profesi, prinsip etik,
dan teori umum tindakan moral. Konselor harus tetap jujur pada dirinya sendiri,
tidak boleh meninggalkan nilai-nilai sosial, nilai moral dan nilai spiritual.
Konselor mempunyai hak untuk menentukan nilai mana yang akan dipakai atau
ditanggalkan, tetapi konselor harus mengenal dirinya sendiri, mengenal
nilai-nilai yang dimilikinya, dan mengikuti nilai-nilai itu dengan jujur. Tugas
konselor ialah membantu membelajarkan peserta didik melalui pelayanan konseling
dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang dimilikinya. Nilai moral berkaitan
dengan pribadi konselor yang bertanggungjawab. Nilai-nilai moral akan
menentukan seseorang bersalah atau tidak, dilihat dari besarnya tanggungjawab.
Nilai moral hanya dapat diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya
menjadi tanggungjawab konselor yang bersangkutan, karena berasal dari inisiatif
bebas konselor itu sendiri. Karena itu dapat dikatakan bahwa konselor menjadi
sumber nilai moral. Konselor sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau
buruk dipandang dari sudut moral. Nilai moral mempunyai tuntutan yang lebih
mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan dari hati
nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah timbulnya suara dari hati
nurani yang menuduh diri sendiri meremehkan, atau menentang nilai-nilai moral,
atau memuji diri bila dapat mewujudkan nilai-nilai moral. Hal penting dalam
melaksanakan pelayanan konseling adalah etika dan moral yang sesuai dengan
standar umum. Dari pernyataan tersebut mungkin akan timbul pertanyaan: Mengapa
kita harus bermoral? Mengapa kita harus mengambil bagian dalam kehidupan lembaga
moral? Mengapa kita harus mengambil sudut pandang moral? Pertanyaan lebih
lanjut mungkin tentang (1) motivasi untuk bertindak apakah, yang secara moral
dianggap baik? (2) apakah tindakan untuk melakukan keadilan dapat disebut baik
secara moral? (3) bagaimanakah motivasi untuk mengadopsi cara pandang moral dan
kebijaksanaan lain yangmenguraikan kehidupan lembaga moral? Atau (4) adakah
keadilan moralitas dan sudut pandang moral? (William K. Frankena,1973:114).
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengandung makna sebagai petunjuk perlunya suatu
motivasi untuk melakukan keadilan, kebijaksanaan dan pola pikir yang didasarkan
pada moral. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam hal ini ditunjukkan kepada
konselor dalam lembaga yang syarat dengan muatan-muatan moral, sehingga
tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh konselor harus selalu mengacu kepada
moral, lebih-lebih dalam hubungannya dengan kegiatan konseling. Setiap masalah
pembelajaran, apalagi pembelajaran melalui pelayanan konseling adalah masalah
moral. Hal ini benar ketika kita mengacu pada sebuah pertanyaan yang merupakan
dasar bagi semua etika : “bagaimana seharusnya saya membelajarkan peserta
didik?” Kita dapat berharap bahwa pembelajaran yang kreatif akan berbeda dengan
pembelajaran lainnya dalam hal mengasosiasikan hubungan moral dalam proses
pembelajaran secara tepat dan memadai. Disini kita dapat menetapkan suatu
prinsip dasar bahwa tujuan dari pembelajaran yang berhasil ialah penyesuaian
moral secara konstruktif terhadap kehidupan peserta didik. Kesalahan yang
banyak dilakukan oleh konselor yang belum berpengalaman, ialah berusaha
mengambil jalan pintas menuju tujuan pembelajaran tanpa memperhatikan implikasi
moral dari proses pembelajaran terhadap peserta didik.
3. Pentingnya Kode Etik
Profesi
Sebelum menjadi seorang
konselor, sebaiknya seseorang dengan kritis dan jujur menilai diri sendiri,
apakah secara moral kemauannya cukup kuat dan bersedia memikul tanggungjawab
untuk membantu orang lain. Untuk itu, sebaiknya tanyakanlah kepada diri sendiri
“Apakah yang saya harapkan dari kegiatan pelayanan konseling ini? Kepuasan dan
imbalan apakah yang mungkin saya peroleh dalam membelajarkan orang lain melalui
pelayanan konseling? Meskipun alasan-alasan konselor untuk membantu orang lain
tidak selamanya murni dan benar-benar bersifat menguntungkan orang lain, tetapi
setiap konselor hendaknya selalu terbuka dan menyadari dorongan-dorongan yang
mendasari tindakantindakannya, sebab dorongan-dorongan ini akan sangat
mempengaruhi keberhasilan pekerjaannya nanti. Konselor yang beretika adalah,
konselor yang dapat mengajukan sebuah pertanyaan yang mendasar bagi semua
etika: “bagaimanakah seharusnya saya menjalani hidup?” Sebagaimana halnya
kehidupan lain, kehidupan moral dimulai dengan pengekspresian diri seseorang;
seperti ekspresi hasrat, dorongan instink, keinginan, dan bentuk-bentuk
dorongan internal lainnya. Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks yang
terstruktur. Bagaimanapun, hal yang perlu ditekankan disini ialah bahwa tanpa
ekspresi diri ini, tidak ada isi kehidupan moral. Dorongan rasa lapar dan seks
yang bersifat instintif, hasrat marah, membenci dan mencintai, keinginan untuk
berteman dan mencipta, serta semua dorongan lainnya melengkapi materi pengisi
moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka moralitas tidak berarti, seperti
sebuah sungai yang kering tanpa air mengalir. Konselor dalam memberikan
pelayanan konseling kepada seseorang/atau sekelompok orang perlu memberi
kebebasan guna menempuh sebuah jalan hidup yang memungkinkan mereka menjadi
pribadi yang utuh. Pribadi seperti itu akan diperlukan untuk menghindari
tekanan yang berlebihan pada sukses finansial, yang dapat menimbulkan
persaingan materi dan sikap pamrih belaka, berdampak hilangnya nilai manusiawi
pada suatu bidang studi, yang pada akhirnya akan mengaburkan nilai-nilai dan
tujuan konseling yang telah direncanakan. Moral dan etika dalam konseling akan
dapat diwujudkan oleh konselor yang memiliki kompetensi. Kompetensi adalah
keseluruhan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan seseorang
dalam kaitannya dengan suatu tugas profesi tertentu. Kompetensi konselor ialah
kompetensi ialah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus ada pada
seseorang agar dapat menunjukkan tingkah lakunya sebagai konselor. Kompetensi
konselor meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional. Etika adalah asas-asas atau standar
perilaku konselor yang berdasar pada beberapa nilai umum sudah diterima. Ketika
sebuah aspirasi kelompok profesional dilakukan dengan aktivitas-aktivitas yang
terkait dengan sebuah elemen yang mempertimbangkan kepercayaan publik, hal ini
memerlukan suatu penterjemahan nilai-nilai penting ke dalam sebuah
standar-standar etis yang dapat membantu pembentukan keinginan terhadap
perilaku dari anggota-anggota dalam hubungan mereka dengan publik atau hubungan
satu sama lain. Sebagai kelompok yang muncul dalam usaha untuk berkembang dalam
keprofesionalan mereka, standarstandar etis diformulasikan secara umum dengan
istilah kode etik. Membuat keputusan secara etis dalam situasi-situasi dimana
terjadi konflik antara jaminan-jaminan tampaknya adalah sesuatu yang tidak
mudah. Kode etik penting bagi konselor untuk menjadi arahan-arahan dalam
keputusan-keputusan etis secara luas, tetapi mereka kadangkadang cukup detail
dalam penerapan yang sempurna terhadap situasisituasi etis yang spesifik.Tentu
saja, para konselor biasanya melakukan upaya untuk membuat keputusan-keputusan
etis yang kompleks dengan berdasarkan kepada sistem-sistem etis internal mereka.
Sistem-sistem etis tersebut benar-benar merupakan bagian filosofis diri para
konselor dalam konseling. Pada dasarnya, sebuah sistem etis merepresentasikan
sebuah hirarki nilai-nilai yang mengijinkan konselor untuk membuat pilihan
berdasarkan pada perbedaan level, yaitu level baik atau level buruk. Ketika
jaminan-jaminan etis dan keinginan-keinginan yang penting menjadi suatu
konflik, konselor sering berhadapan dengan situasi-situasi di mana tidak ada
suatu cara yang dapat dilakukan yang dapat membuat sebuah rekonsialisasi yang
sempurna terhadap nilai-nilai atau harapanharapan yang muncul. Dalam hal ini,
konselor beroperasi pada daerah dimana banyak “bayang-bayang kelabu”. Kemampuan
untuk melakukan internalisasi sebuah hirarki nilai pada konselor dapat dilakukan
secara etis, efektif, dan mengikuti kata hati yang benar-benar terbentuk dalam
diri konselor dalam hal identitas personal dan profesional mereka. Sayangnya
banyak para konselor yang tidak benar-benar menyadari siapa sebenarnya dirinya,
atau apa yang sebenarnya mereka inginkan. Pada suatu saat mereka ingin menjadi
“orang yang membantu” yang mempunyai komitmen yang mendalam untuk membantu
orang. Pada saat yang lain, para konselor tersebut ingin menjadi seorang
“polisi” atau penjaga komunitas masyarakat terhadap kenyataan atau pelanggaran
hukum terhadap seorang individu. Mungkin adalah benar bahwa masyarakat memang
memerlukan ”orang yang membantu” dan ”polisi”, tetapi dapat juga benar bahwa
dalam beberapa situasi, adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat
berperilaku secara etis dan konsisten pada kedua peran tersebut. Salah satu
keprihatinan konselor yang paling mendalam bahwa dia ingin menerima seseorang
secara konsisten dan etis., Jika dia tidak mempunyai penerimaan seperti ini,
para klien tidak akan menaruh kepercayaan dankeyakinan kepadanya, suatu hal
yang dibutuhkan dalam pembentukan hubungan profesional yang bersifat membantu.
Perilaku yang tidak etis biasanya muncul ketika konselor mengkomunikasikan
dirinya sendiri dalam usahanya untuk membentuk sebuah bentuk harapan-harapan
tersebut. Sebagai contoh, konselor membentuk situasi konseling verbal atau non
verbal dengan tujuan untuk membentuk kepercayaan, perhatian dan keyakinan
bersama. Dia kemudian berperilaku dnegan cara mengecewakan harapan-harapan
karena dia membuat peran yang lebih besar pada peran kemasyarakatan yang lain.
Perilaku yang tidak konsisten ini akan tampak menjadi sesuatu yang tidak etis
bagi klien. Hal ini sering terjadi karena kekurangan identitas profesional pada
konselor. Konselor yang berhasil dan etis adalah yang dapat berkata-kata dan
hidup dalam sebuah hirarki nilai sehingga menjadikan dirinya mampu membuat
keputusan yang konsisten terkait dengan jaminan-jaminan terhadap para klien
terhadap jaminan-jaminan lainnya. Konselor harus dapat memahami bukan sekedar
menjelaskan sebuah situasi sehingga dapat membuat klien menjadi merasa nyaman
dengan menolak nilai-nilai yang mungkin terkait dengan diri klien. Ketika
seorang konselor menjadi tidak jelas dan bersifat ambigius tentang jaminan-jaminan
etis, dia akan dipandang sebagai seseorang yang tidak konsisten dan tidak dapat
dipercaya. Pada saat seorang konselor memutuskan suatu hirarki nilai tetapi
tidak menemukan kenyamanan klien, kemungkinan dia juga tidak dapat diterima
sebagai seorang konselor. Kebanyakan perilaku etis muncul ketika para konselor
ingin diterima sebagai konselor, tetapi membuat nilai-nilai yang lebih besar
terhadap peran institusional seperti petugas kedisiplinan atau seperti seorang
petugas administrasi. Konselor dalam melaksanakan tugas berbagai layanan
konseling yang bertujuan membantu individu-individu terdapat berbagai persoalan
pokok yang perlu diperhatikan oleh konselor sebagai penyelenggara pelayanan
konseling. Hal pokok untuk menghadapi masalah etik, yang harus dilakukan oleh
konselor adalah mengembangkan kode etik profesional dan standar tingkah laku
“berdasarkan nilai-nilai yang telah disetujui bersama” (Hansen et al,1994:362).
Profesional dalam konseling secara sukarela menerima peraturan ini dengan berbagai
alasan. Di antara beberapa tujuannya, peraturan tentang perilaku etik dibuat
untuk memberikan pernyataan formal yang menjamin perlindungan hak klien,
sementara mengidentifikasi ekspektasi dari praktisi (Wilcoxon,1987:510). Alasan
lain untuk kode etik ini yaitu bahwa “tanpa pembentukan kode etik, sekelompok
orang yang memiliki kesamaan kepentingan tidak dapat dianggap sebagai
organisasi profesional” (Allen, 1986:293).
Etik tidak hanya
membantu memprofesionalkan asosiasi secara umum, tetapi “dirancang juga untuk
memberikan pedoman tingkah laku profesional dari para anggotanya secara
pribadi” (Swasson,1983:53). Tiga alasan lain dari keberadaan kode etik menurut
Van Hoose dan Kottler (185) adalah sebagai berikut:
a. Kode etik melindungi
profesi dari pemerintah. Kode etik memperbolehkan profesi untuk mengatur diri
mereka sendiri dan berfungsi sendiri alih-alih dikendalikan oleh undang-undang.
b. Kode etik membantu
mengontrol ketidaksepakatan internal dan pertengkaran, sehingga memelihara
kestabilan dalam profesi.
c. Kode etik melindungi
praktisi dari publik, terutama untuk pengaduan malpraktik. Jika konselor
bertindak sesuai dengan batas-batas etik, tingkah lakunya akan dinilai telah
memenuhi standar umum.
Selain itu kode etik
membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas sebuah profesi dan
melindungi klien terhadap penjual obat dan konselor yang kurang kompeten (Vacc,
Juhnke, & Nielsen,2001). Seperti konselor, klien juga dapat menggunakan
kode etik dan standar, sebagai petunjuk dalam mengevaluasi perawatan yang
kurang jelas.
Persoalan pokok yang
berkaitan dengan kode etik profesional di dalam penyelenggaraan batuan
profesional harus menjadi perhatian serius agar proses konseling dapat berjalan
baik dan berhasil baik. Kode etik profesi adalah norma-norma yang harus
diindahkan oleh setiap tenaga profesi dalam menjalankan tugas profesi dan dalam
kehidupannya di masyarakat. Norma-norma itu berisi apa yang tidak boleh,apa
yang seharusnya dilakukan, dan apa yang diharapkan dari tenaga profesi. Kode
etik, bagi seorang konselor adalah sebagai berikut:
a. memberikan pedoman
etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak menjalankan tugas
profesi konseling;
b. memberikan
perlindungan kepada klien (individu pengguna);
c. mengatur tingkah
laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur hubungan konselor dengan klien,
rekan sejawat dan tenaga-tenaga profesional yang lain, atasan,lembaga tempat
bekerja (jika konselor adalah pegawainya), dan masyarakat;
d. memberikan dasar
untuk melakukan penilaian atas kegiatan profesional yang dilakukannya;
e. menjaga nama baik
profesi terhadap masyarakat (public trust) dengan mengusahakan standar mutu
pelayanan dengan kecakapan tinggi dan menghindari perilaku tidak layak atau
tidak patut/pantas;
f. memberikan pedoman berbuat
bagi konselor jika mengahadapi dilema etis;
g. menunjukkan kepada
konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan masyarakat.
Kode etik sebagai salah
satu syarat penting bagi eksistensi profesi konseling atau berbagai jati diri
profesi konseling. Kode etik penting mengingat bahwa kode etik penerapannya
dengan patuh dan taat asas, penegakkannnya merupakan tolok ukur kualitas
pencapaian visi dan misi profesi. Dalam menjalankan tugasnya konselor untuk
menunjukkan kinerjanya dengan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional (Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 27 Tahun 2008
tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor).
Kode etik menjadi
penting sebagai pedoman kerja bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya.
Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan mendapatkan sanksi. Tujuan
ditegakkannya kode etik profesi adalah sebagi berikut:
a. menjunjung tinggi
martabat profesi;
b. melindungi
pelanggaran dari perbuatan malapraktik;
c. meningkatkan mutu
profesi;
d. menjaga standar
mutu; dan
e. menegakkan ikatan
antara tenaga profesi dan profesi yang disandang.
Akan sangat melegakan
apabila dapat mempercayai bahwa seseorang yang berprofesi sebagai konselor
tidak diragukan lagi. Seorang konselor yang kridebel adalah seseorang yang
memiliki integritas dan kebajikan serta melakukan tindakan dengan merujuk
kepada kode etik profesi yang sempurna. Tetapi hal itu jarang terjadi, ada
cukup banyak bukti malpraktik etik di antara konselor dalam menjalankan tugas
profesinya.
Meskipun berbagai kode
etik ini tidak diragukan lagi dan sangat membantu dalam menyatakan kesatuan
pandangan terhadap berbagai dilema etik dalam konseling, namun kenyataannya
masih ada ambigius di sana. Penting untuk di catat bahwa kode etik ini
dikembangkan bukan hanya untuk melindungi klien dari pelecehan atau malpraktik
yang dilakukan oleh konselor, tetapi juga untuk melindungi profesi konseling
dari campur tangan pemerintah dan menguatkan klaimnya untuk mengontrol bidang
kepakaran profesional tertentu. Komite kode etik dan kode etik praktik
berfungsi menunjukkan kepada dunia luar bahwa konseling berjalan sesuai aturan,
bahwa konselor dapat diandalkan untuk memberikan layanan profesional.
4. Keterbatasan Kode
Etik
Remley (1985:81)
mencatat bahwa kode etik itu umum dan idealistis; kurang menjawab pertanyaan
yang spesifik. Selain itu, beliau juga menunjukkan bahwa dokumen seperti itu
tidak dibahas “dilema profesional yang dapat diprediksi”. Alih-alih kode etik
memberikan pedoman, berdasarkan pengalaman dan nilai-nilai, tentang bagaimana
seharusnya tingkah laku konselor. Dalam banyak cara, standar etik mewakili
kumpulan kebijaksanaan dari seorang profesi dalam kurun waktu tertentu.
Ada sejumlah batasan
spesifik dalam kode etik. Di bawah ini beberapa batasan yang paling sering
disebutkan (Beymer,1971; Corey, Corey, & Callanan, 2007; Talbutt,1981),
sebagai berikut:
a. Beberapa masalah
tidak dapat diputuskan dengan kode etik.
b. Pelaksanaan kode
etik merupakan hal yang sulit.
c. Standar-standar yang
diuraikan dalam kode etik ada kemungkinan saling bertentangan.
d. Beberapa isu legal
dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
e. Kode etik adalah
dokumen sejarah. Sehingga praktik yang diterima pada suatu kurun waktu mungkin
saja dianggap tidak lagi etis di kemudian hari.
f. Terkadang muncul
konflik antara peraturan etik dan peraturan legal.
g. Kode etik tidak
membahas masalah lintas budaya.
h. Tidak semua
kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik.
i. Sering kali sulit
menampung keinginan semua pihak, yang terlibat dalam perbincangan etik secara
sitematis.
j. Kode etik bukan
dokumen proaktif untuk membantu konselor dalam memutuskan apa yang harus
dilakukan dalam suatu situasi baru.
Jadi, kode etik sangat
berguna dalam beberapa hal, tetapi juga memiliki keterbatasan. Konselor harus
berhati-hati karena tidak semua petunjuk yang mereka butuhkan dapat selalu
ditemukan dalam dokumen ini. Meskipun begitu, kapanpun masalah etik timbul
dalam konseling,yang pertama kali harus dilakukan konselor adalah memeriksa
kode etik untuk melihat apakah ada pembahasan mengenai situasi tersebut.
5. Mengambil Keputusan
Etik
Pengambilan keputusan
etik tidak selamanya mudah dilakukan, tetapi hal ini merupakan bagian dari
tugas seorang konselor. Untuk ini dibutuhkan kualitas seperti karakter,
integritas, dan keberanian moral, selain pengetahuan (Welfel,2006).
Beberapa konselor
beroperasi dengan standar etik pribadi tanpa berpegangan pada batasan etik yang
dibuat oleh asosiasi konseling profesional. Semua itu biasanya berjalan dengan
baik sampai akhirnya berhadapan dengan sebuah dilema “yang solusinya tidak
jelas atau kelihatannya tidak ada solusi terbaiik”, pada saat itulah muncul
masalah etik yang dampaknya konselor menjadi gelisah, ragu, bimbang dan bingung
dalam menentukan tindakan. Sayannya, ketika mereka bertindak, tingkah laku
mereka kemungkinan menjadi tidak etis, karena tidak didasarkan pada kode etik
atau didasarkan hanya pada sebagian peraturan yang mereka ambil untuk
membenarkan tindakan mereka.
Studi di New York
(Hayman & Covert,1986) menyebutkan, peneliti menemukan lima tipe dilema
etik yang paling sering terjadi di antara konselor universitas yang mereka
survei, yaitu:
a. kepercayaan,
b. konflik peran,
c. kompetensi konselor,
d. konflik dengan
atasan atau institusi, dan
e. tingkat kepentingan.
Situasi dilema yang
melibatkan bahaya adalah yang paling mudah dipecahkan, yang paling susah adalah
yang berhubungan dengan kompetensi konselor dan kepercayaan. Dari studi ini
diperoleh temuan mengejutkan, bahwa hanya kurang dari sepertiga responden yang
mengatakan bahwa mereka mengandalkan kode etik profesional yang sudah
dipublikasikan dalam menyelesaikan permasalahan. Alih-alih, sebagian besar
responden menggunakan “akal sehat,” sebuah strategi yang kadang-kadang secara
profesionalitas tidak etis dan kurang bijaksana. Konselor harus berpedoman pada
sumber daya untuk pengambilan keputusan yang beretika, seperti buku-buku dan
artikel etik serta rekan kerja yang lebih berpengalaman (Welfel, 2006), hal ini
untuk mengatasi situasi sulit, gelap, dan mengganggu yang dirasakan oleh
seorang konselorsecara pribadi. Sumber daya seperti ini sangat penting ketika
muncul pertanyaan mengenai perilaku yang berpotensi kontroversial seperti
mengatur atau mengumpukan upah, menjalin beragam hubungan, atau bekerja dengan
orang yang pendapat dan gayanya tidak sesuai dengan konselor.
Alasan etik, “suatu
proses pengambilan keputusan yang melibatkan prinsip etik dan kemudian
memprioritaskan berdasarkan persyaratan dan pendapat profesional,” merupakan
hal yang krusial (Lanning,1992:21).
Konselor dalam
melakukan pengambilan keputusan etik, harus ”berdasarkan pemikiran yang
hati-hati dan reflektif” mengenai respons yang mereka anggap benar dari sudut
profesionalitas pada situasi tertentu. Beberapa prinsip etik yang berhubungan
dengan aktivitas dan pilihan etik konselor:
a.
Beneficence/perbuatan baik (melakukan yang baik dan mencegah kerugian).
b. Nonmaleficence
(tidak mengakibatkan kerugian/rasa sakit).
c. Autonomy/otonomi
(memberikan kebebasan dalam memilih dan pengambilan keputusan sendiri).
d. Justice/keadilan,dan
e. Fidelity/kesetiaan
(kesetiaan atau berpegang pada komitmen) (Ramley & Herlihy, 2005; Wilcoxon
et al., 2007).
Konselor dalam proses
pelayanan konselig yang melibatkan pengambilan keputusan secara sadar wajib
mengacu pada prinsip tersebut. Dari prinsip-prinsip tersebut, beberapa ahli
mengidentifikasi nonmaleficence sebagai tanggungjawab etik yang utama dalam
bidang konseling. Nonmaleficence tidak hanya melibatkan “penghapusan
kerugian/rasa sakit sekarang” tetapi juga “ pencegahan kerugian/rasa sakit di
masa yang akan datang, dan penghindaran kerugian secara pasif” (Thompson,
1990:105). Ini merupakan dasar yang digunakan konselor dalam merespons klien
yang mungkin membahayakan diri sendiri atau orang lain dan alasan mereka merespon
tingkah laku di luar etika dari rekan kerja mereka (Daniluk &
Haverkam,1993).
Pengambilan keputusan
etik dalam konseling dapat ditingkatkan dalam banyak cara, tetapi salah satu
cara terbaik adalah mengikuti kursus dan melanjutkan pendidikan yang sekarang
diisyaratkan dalam banyak program konseling lanjutan, dan untuk memperbaharui
lisensi konselor profesional.
Van Hoose dan Paradise
(1979) mengkonsep tingkah laku etik konselor dalam lima tingkatan perkembangan
pertimbangan yang berkesinambungan, sebagaimana tertera dibawah ini:
a. Orientasi hukuman.
Pada tingkatan ini, konselor menganggap satndar sosial eksternal (dari luar)
adalah dasar untuk menilai tingkah laku. Jika klien atau konselor melanggar
aturan sosial, mereka harus dihukum.
b. Orientasi institusional.
Konselor yang beroperasi pada tingkatan ini percaya dan berpegang pada aturan
institusi tempat mereka bekerja. Mereka tidak meragukan aturan tersebut dan
mendasarkan keputusan mereka pada aturan tersebut.
c. Orientasi sosial.
Pada tingkatan ini konselor mendasarkan keputusan yang diambilnya pada standar
sosial. Jika timbul pertanyaan tentang apakah kepentingan sosial atau
individual yang harus diutamakan, kepentingan sosial selalu mendapat prioritas.
d. Orientasi individu.
Kebutuhan individual mendapat prioritas utama pada tingkatan ini. Konselor
memperhatikan kebutuhan sosial dan hukum yang berlaku,tetapi mereka fokus pada
apa yang terbaik untuk individu.
e. Orientasi prinsip
hati nurani. Pada tingkatan ini kepedulian satusatunya adalah pada individu.
Keputusan yang beretika diambil berdasarkan standar etika internal, bukan
pertimbangan eksternal.
Sumber :
Stainless steel bars | Titanium Bars, Salsa & Dip - Titianium
BalasHapusStainless steel can titanium rings be resized bars are crafted with a blend venza titanium glow of stainless steel and titanium alloy. titanium key ring Perfect for everything from ford edge titanium hot babyliss pro titanium sauces to desserts.