header

Selasa, 21 Maret 2017

Etika Profesi Konselor

Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak uk dalam kategori norma hukum yang didasari kesusilaan.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku dan berbudaya. Tujuan kode etik agar profesionalisme memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai jasa atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Prinsip-Prinsip Etika Profesi
Dalam menjalankan profesi, seseorang perlu memiliki dasar-dasar yang perlu diperhatikan, diantaranya:
1.    Prinsip Tanggung Jawab. Seorang yang memiliki profesi harus mampu bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dari profesi tersebut, khususnya bagi orang-orang di sekitarnya.
2.    Prinsip Keadilan. Prinsip ini menuntut agar seseorang mampu menjalankan profesinya tanpa merugikan orang lain, khususnya orang yang berkaitan dengan profesi tersebut.
3.    Prinsip Otonomi. Prinsip ini didasari dari kebutuhan seorang profesional untuk diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menjalankan profesinya.
4.    Prinsip Integritas Moral. Seorang profesional juga dituntut untuk memiliki komitmen pribadi untuk menjaga kepentingan profesinya, dirinya, dan masyarakat.

KODE ETIK PROFESI KONSELOR
 A. Indikator Keberhasilan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dapat:
1. Menguraikan persoalan etis dan profesional.
2. Memahami etika,moral,norma,dan nilai
3. Memahami pentingnya kode etika profesi
4. Mendiskripsikan keterbatasan kode etik
5. Menerapkan pengambilan keputusan etik.

B. Uraian Materi
1. Persoalan Etis dan Profesional 
Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan pengguna sesuai dengan martabtt, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam kaji terapan konseling yang diwarnai oleh budaya pihak-pihak terkait. Dengan demikian paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psikopendidikan dalam bingkai budaya. Dari sudut pandang profesi bantuan (helping profession) pelayanan konseling diabdikan bagipeningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara menfasilitasi perkembangan individu atau kelompok individu sesuai dengan dengan kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluang-peluang yang dimilikinya, dan membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang dihadapi dalam perkembangan dirinya. Sebagai pekerjaan profesional, maka cara kerjanya diatur dalam kode etik yang jelas. Kode etik adalah kode moral yang menjadi landasan kerja bagi pekerja profesional. 
Etik merupakan standar tingkah laku standar seseorang, atau sekelompok orang, yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi pada dasarnya merumuskan standar tingkah lakunya yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesional. Standar Tingkah Laku profesional itu diterjemahkan dari nilai-nilai masyarakat ke dalam bentuk cita-cita yang terstruktur dalamhubungannya dengan orang lain, kliennya dan masyarakat. Terjemahan nilai-nilai sebagai bentuk standar itu dirumuskan ke dalam “kode etik profesi” (Hansen, 1982:438). Setiap pekerja profesional harus mempunyai perhatian terhadap tanggungjawab dan jaminan etis mereka. Masalah-masalah etis sering menjadi hal yang sangat sulit bagi orang-orang yang mempunyai profesi membantu karena beberapa alasan. 
Pertama, praktek-praktek etis khusus atau kode etik masih berkembang yang memberikan arahan yang selayaknya terhadap perilaku etis dalam situasi-situasi yang sangat luasyang dijumpai dalamhubungan-hubungan personal yang bersifat membantu. Kedua, sebagian besar pekerja dalam profesi membantu tidak melakukan praktek sendirian. Operasional profesionalitas mereka muncul dalam konteks institusi sekolah, kampus, rumah sakit, gereja, dan agensi pribadi yang mempunyai sistem-sistem nilai institusional yang mungkin cukup berbeda dalam kelompok profesional yang ditujukan oleh para pekerja dalam bidang ini. Dalam profesi membantu tampaknya akan menemui situasi-situasi di mana jaminan-jaminan etis menjadi tumpang tindih dan konflik. Sering kali terjadi, mereka bekerja secara simultan terhadap beberapa orang yang terkait dengan hubungan interpersonal yang sangat dekat dengan diri mereka. Etik meliputi “membuat keputusan yang bersifat moral tentang manusia dan interaksi mereka dalam masyarakat (Kitchener,1986:306). Etik sering juga disebut moralitas dan dalam beberapa kasus kedua istilah ini saling tumpang tindih. Keduanya berhub ungan dengan “apa yang dikatakan baik dan yang buruk atau studi tentang tingkah laku manusia dan nilai-nilai (van Hoose & Kottler,1985:2). Meskipun demikian masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Etik secara umum didefinisikan sebagai ilmu filsafat mengenai tingkah laku manusia dan pengambilan keputusan moral (Van Hoose & Kottler,1985:3). Etik bersifat normatif dan berfokus pada prinsip-prinsip standar yang mengatur hubungan antara individu, seperti hubungan antara konselor dan klien. Moralitas meliputi penilaian atau evaluasi perbuatan. Ini berhubungan dengan kata-kata seperti baik, buruk, salah, seharusnya dan harus (Brandt,1959;Grant,1992). Konselor memiliki moral,dan di dalam teori yang digunakan konselor tertanam asumsi moral tentang sifat manusia yang secara eksplisit dan implisit akan mempertanyakan: pertama, ”Apakah manusia itu? Dan yang kedua, “Bagaimana seharusnya manusia itu?” (Christopher,1996:18). Sebagai kelompok,konselor profesional berhubungan dengan etik dan nilai. Bahkan banyak konselor menghadapi keluhan etika dengan kesungguhan yang sama seperti menghadapi tuntutan perkara hukum (Chauvin & Remley,1996). 
Bagaimanapun juga ada beberapa konselor yang lebih melek atau lebih akrab dengan isu-isu ini. Patterson (1971) melihat bahwa identitas keprofesionalan konselor berhubungan dengan pengetahuan dan praktik etik mereka. Welfel (2006) menambahkan bahwa keefektifan dari konselor berhubungan dengan pengetahuan etik dan tingkah laku mereka. Tingkah laku tidak beretik dalam konseling bentuknya bermacam-macam. Godaan umum yang dirasakan orang,juga dialami konselor. Diantaranya termasuk keintiman fisik, gosip yang menggairahkan,atau kesempatan (jika berhasil) untuk meningkatkan karir seseorang. (Welfel & Lipsitz,1983b:328). Beberapa bentuk tingkah laku tidak etis jelas dan terencana, sementara lainnya lebih halus dan tidak terencana. Berikut ini adalah beberapa tingkah laku tidak etis yang paling sering dalam konseling (ACA,2005; Herlihy & Corey, 2006):
a. Pelanggaran kepercayaan
b. Melampaui tingkat kompetensi profesional seseorang
c. Kelalaian dalam praktik
d. Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki
e. Memaksakan nilai-nilai konselor kepada klien
f. Membuat klien bergantung
g. Melakukan aktivitas seksual dengan klien
h. Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur dengan hubungan lainnya, baik hubungan pribadi atau hubungan profesional (Moleski & Kiselica,2005)
i. Persetujuan finansial yang kurang jelas, seperti mengenakan bayaran tambahan
j. Pengiklanan yang tidak pantas
k. Plagiarisme

2. Etika, Moral, Norma dan Nilai
Istilah etika, moral, norma dan nilai sering tidak bisa dibedakan secara jelas, dan seiring mengacu pada hukum yang berlaku secara umum di masyarakat. Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membicarakan nilai dan norma, moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli nilai, norma dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai, norma dan moral. Etika adalah sebuah refleksi ktritis dan rasional mengenai nilai, norma dan moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
Menurut Bertens (1999:6) etika mempunyai tiga arti: Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa dirumuskan juga sebagai sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilainilai yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima oleh masyarakat---seringkali tanpa disadari---menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral. Menurut Algernon D. Black (1990:11) etika adalah ilmu yang mempelajari cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik. Etika mempertanyakan pandangan orang dan mencari kebenarannya.
Istilah moral kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan ”etika”. “Moral” berasal dari kata Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah akhlak, cara hidup (Lorens Bagus,1966:672). Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (kamus Bahasa Indonesia,1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: etika dari bahasa Yunani, dan moral dari bahasa Olatin. Jika kita sekarang memandang arti kata “moral”, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjaid pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya,kita mengatakan, bahwa perbuatan si A tidak bermoral, artinya,kita menganggap perbuatan si A melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Istilah moral lebih sering dipergunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku dan adat atau kebiasaan dari individu atau kelompok-kelompok, seperti bila seseorang membicarakan tentang moral orang lain. Disini moral sama artinya dengan kata Yunani ethos dan kata Latin mores (Dagobert D.Runes,1977:202). Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban”atau “norma”. Moral dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya tindakan manusia.
Helden (1977) dan Richards (1971) merumuskan pengertian moral sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Atkinson (1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang harus dicoba dilakukan oleh manusia. Moralitas atau sering disebut ethos ialah sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya. “Ethos” terkadang diartikan untuk menunjukkan karakter tertentu. berkaitan dengan yang terakhir ini didasarkan pada unggulnya satu nilai khusus, unggulnya sikap moral dari satu nilai khusus, atau sikap moral dari seluruh bangsa atau kelompok sosial. Sebuah tindakan yang baik secara moral ialah tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai ethis obyektif dan yang mengafirmasikan hukum moral. Buruk secara moral ialah sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral. Suatu tindakan bebas dikatakan tidak peduli/indiferen secara moral kalau ia tidak baik pun pula tidak butuk berkenaan dengan obyeknya. Namun, tindakan bebas manusia dalam hal tertentu, konkret selalu baik atau pun buruk. Karena, paling tidak maksud manusia dalam menjalankan tindakan itu tidak indiferen secara moral---atau baik atau buruk. Sumber dari seluruh kepatutan dan ketidakpatutan moral, pertama keputusan bebas kehendak, kemudian, sikap bajik yang timbul dari keputusan bebas tersebut, dan akhirnya, pribadi atau subyek moral.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dnegan “moral”, hanya lebih abstrak. Bila kita berbicara tentang “moralitas” suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan baik dan buruk. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas ini terkandung dalam ajaran berbentuik petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun menurun melalui agama atau kebudayaan tertensu. Isi ajaran adalah tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar menjadi manusia yang baik dan bagaimana manusia harus menghindari perilakuperilaku yang tidak baik. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik dan buruk. Dari segi obyektif soal moral mempunyai nilai yang dalam arti tertentu, tidak bersyarat dan mutlak, meskipun ia bukan tidak terbatas. Nilai ini bersama dengantujuan tertinggi manusia dan hukum Ilahi merupakan dasar kekuatan hukum moral kodrat yang mengikat dan tak bersyarat. Tujuan tertinggi manusia adalah kebahagiaan. Ini akan tercapai di dunia lain karena manusia menjadi milik Allah. Keburukan (kejahatan) moral ditandai ketidakpatutan mutlak yang tidak dapat diikmbangi nilai lain manapun betapaun tingginya. Nilai mutlak dari tatanan moral memerlukan kepatuhan kehendak manusia di samping kecondomngan-kecondongan ingat diri. Etika dan moral mempunyai fungsi yang sama,yaitu memberi orientasi bagaimana kita harus melangkah dalam hidup ini. Perbedaannya, moralitas langsung mengatakan kepada kita, “Inilah cara Anda harus melangkah”. Sedangkan etika mempersoalkan “Apakah saya harus melangkah dengan cara itu?” dan “mengapa saya harus melangkah dengan cara itu?” Etika sebagai ilmu tentang tingkah laku manusia tidak saja mempertanyakan alasan terjadinya dan baik tidaknya tindakan itu; melainkan juga,apa akibatnya secara lahir dan batin. Atas dasar itulah,etika lebih dalam dan lebih luas daripada moral. Moral dan etika saling berkaitan, sebab kalau kita berbicara moral sudah tentu kita berbicara tentang etika, dan sebaliknya. Norma berarti ukuran, garis pengarah,atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Segala hal yang diberi nilai, indah, berguna, diusahakan untuk diwujudkan dalam perbuatan. Sebagai hasil dari usaha tersebut, timbullah ukuran perbuatan atau norma tindakan. Norma ini jika telah diterima oleh anggota masyarakat sellalu mengandung sangsi dan penguatan (reinforcement), yaitu (a) jika tidak dilakukan sesuai dengan norma,maka hukumannya adalah celaan dan sebagainya, (b) jika dilakukan sesuai dnegan norma, maka pujian, balas jasa, dan sebagainya adalah imbalannya. Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya,berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, atau dapat menjadi obyek kepentingan. Menurut pandangan relalitivisme (a) nilai bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan, dan sebagainya) baik secara sosial dan pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan; (b) nilai berbeda dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; (c) penilaian seperti benar/salah, baik/buruk, tepat/tidak tepat, tidak dapat diterapkan padanya; dan (d) tidak ada, dan tidak dapat ada nilai-nilai universal, mutlak dan obyektif manapun yang dapat diterapkan pada semua orang pada segala waktu. Pandangan obyektivitas menyatakan bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata, dalam bentuk (rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemukan obyekobyek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah. Teori obyektivitas nilai adalah pandangan yang menyatakan bahwa nilainilai adalah obyektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pandangan subyektivitas nilai bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real obyektif tetapi merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi,dan merupakan penafsiran atas kenyataan. Menurut Steeman (dalam Eka Darmaputra,1999) nilai adalah yang memberi makna kepada hidup, yang memberi kepada hidup ini titik-tolak, isi dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut tindakan. Nilai seseorang diukur melalui tindakan, oleh sebab itu etika menyangkut nilai. Nilai dapat dianggap sebagai “keharusan-keharusan” suatu cita yang menjadi dasar bagi keputusan-keputusan yang diambil. Nilai-nilai itu merupakan bagian kenyataan yang tidak dapat dipisahkan atau diabadikan. Setiap orang bertingkah laku sesuai dengan seperangkat nilai-nilai, baik nilai-nilai yang sudah merupakan hasil pemikiran dan tertulis maupun yang belum. Oleh sebab itu, konselor tidak mungkin berada pada kedudukan yang netral atau tidak memihak dalam kaitannya dengan nilai-nilai tertentu. Isu moral dan etika dalam konseling erat kaitannya dengan pertanyaan tentang nilai. Salah satu kontribusi penting yang dibuat oleh para pendiripsikologi humanistik, seperti Maslow dan Rogers, adalah penekanan terhadap arti penting dari konsep nilai. Nilai dapat didefinisikan sebagai keyakinan kuat bahwa suatu kondisi akhir atau mode perbuatan adalah sesuatu yang dapat diterima. Rokeach (1973) membedakan antara nilai “instrumental” dan “terminal”. Nilai “terminal” merujuk kepada kondisi akhir yang diharapkan seperti kebijaksanaan, kenyamanan, keamanan, atau kebebasan. Nilai “instrumental” berkaitan dengan cara yang menjadikan tujuan ini dapat dicapai. Misalnya melalui kompetensi, kejujuran, atau ambisi. Rokeach (1973) berpendapat bahwa sebagian besar orang akan menyetujui nilai seperti “ekualitas”, dan cara terbaik untuk menguak sistem nilai personal yang memandu perilaku seseorang adalah dengan menanyakan nilai yang dipilihnya. Misalnya seseorang bisa saja menilai ekualitas lebih tinggi dibandingkan dengan kebebasan, sedangkan yang lain justru menempatkan kedua nilai ini dalam urutan yang berbeda. Karenanya studi tentang nilai adalah studi yang kompleks. Meskipun demikian, beberapa studi telah menunjukkan bahwa nilai para konselor mempengaruhi nilai yang dipegang oleh klien. Kecenderungan yang ditunjukkan dalam sebagian besar studi adalah adanya hubungan antara nilai yang dipegang oleh klien dengan yang dimiliki oleh konselor (Kelly,1989). Temuan ini menimbulkan beberapa pertanyaan terhadap praktik konseling. Apakah konselor memaksakan nilai mereka kepada klien? Apakah konseling harus dipandang sebagai sebuah bentuk sosialisasi serangkaian nilai tertentu? Survei yang dilaksanakan di Amerika Serikat, Kelly (1995) menemukan bahwa, dibandingkan dengan seluruh populasi, konselor memiliki nilai yang tinggi dalam nilai kebaikan (perhatian terhadap kebahagian orang lain), pengarahan diri, otonomi, dan ekspresi diri, tapi sangat rendah dalam kekuasaan (yang didefinisikan sebagai aspirasi terhadap status dan otoritas terhadap yang lain) dan tradisi (penerimaan dan penghargaan terhadap adat). Hampir 90% para konselor ini mengindikasikan orientasi religius atau spiritual. Terakhir, terdapat tingkatan yang tinggi dari keterbukaan pikiran dan toleransi keyakinan dan pilihan seksual orang lain dan ini mengidentifikasikan bahwa konselor dapat dengan baik memisahkan antara nilai pribadinya dengan nilai yang dianut oleh klien. Ada konsensus tingkat tinggi dikalangan para konselor yang menjawab kuisioner ini. Ini bisa saja mengindikasikan eksistensi profil nilai “clinicalhumanistik” tertentu, sebagaimana ditawarkan oleh Bergin (1980),atau mungin merupakan hasil dari kebijakan politik yang mengarah kepada serangkaian jawaban terhadap kuisioner “yang benar”. Meskipun demikian, pola nilai clinical-humanistik yang ditemukan oleh Kelly (1995) mencakup dimensi religius yang kuat, meskipun masih banyak konselor dimensi diekspresikan melalui nilai spiritual daripada melalui ketaatan religius konvesional. Temuan bahwa konselor tidak berorientasi kekuasaan, dan mempertanyakan tradisi, menguatkan ide yang menyatakan bahwa konseling merepresentasikan serangkaian nilai moral yang pada tingkatan tertentu di luar aliran utama masyarakat kapitalis Barat. Ini juga menunjukkan adanya keyakinan kepada konsep yang menyatakan bahwa salah satu efek dari konseling dan psikoterapi adalah mensosialisasikan klien kedalam serangkaian nilai ini. Sebagai bentuk tanggapan terhadap pertanyaan moral dan etika yang muncul dari kerja mereka, konselor dapat merujuk kepada beragam level kebijakan atau pengetahuan moral. Kitchener (1984) mengidentifikasi empat level pemikiran moral berbeda yang dijadikan sandaran oleh konselor: instuisi personal, panduan etik yang dibakukan oleh organisasi profesi, prinsip etik, dan teori umum tindakan moral. Konselor harus tetap jujur pada dirinya sendiri, tidak boleh meninggalkan nilai-nilai sosial, nilai moral dan nilai spiritual. Konselor mempunyai hak untuk menentukan nilai mana yang akan dipakai atau ditanggalkan, tetapi konselor harus mengenal dirinya sendiri, mengenal nilai-nilai yang dimilikinya, dan mengikuti nilai-nilai itu dengan jujur. Tugas konselor ialah membantu membelajarkan peserta didik melalui pelayanan konseling dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang dimilikinya. Nilai moral berkaitan dengan pribadi konselor yang bertanggungjawab. Nilai-nilai moral akan menentukan seseorang bersalah atau tidak, dilihat dari besarnya tanggungjawab. Nilai moral hanya dapat diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab konselor yang bersangkutan, karena berasal dari inisiatif bebas konselor itu sendiri. Karena itu dapat dikatakan bahwa konselor menjadi sumber nilai moral. Konselor sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dipandang dari sudut moral. Nilai moral mempunyai tuntutan yang lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah timbulnya suara dari hati nurani yang menuduh diri sendiri meremehkan, atau menentang nilai-nilai moral, atau memuji diri bila dapat mewujudkan nilai-nilai moral. Hal penting dalam melaksanakan pelayanan konseling adalah etika dan moral yang sesuai dengan standar umum. Dari pernyataan tersebut mungkin akan timbul pertanyaan: Mengapa kita harus bermoral? Mengapa kita harus mengambil bagian dalam kehidupan lembaga moral? Mengapa kita harus mengambil sudut pandang moral? Pertanyaan lebih lanjut mungkin tentang (1) motivasi untuk bertindak apakah, yang secara moral dianggap baik? (2) apakah tindakan untuk melakukan keadilan dapat disebut baik secara moral? (3) bagaimanakah motivasi untuk mengadopsi cara pandang moral dan kebijaksanaan lain yangmenguraikan kehidupan lembaga moral? Atau (4) adakah keadilan moralitas dan sudut pandang moral? (William K. Frankena,1973:114). Pertanyaan-pertanyaan di atas mengandung makna sebagai petunjuk perlunya suatu motivasi untuk melakukan keadilan, kebijaksanaan dan pola pikir yang didasarkan pada moral. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam hal ini ditunjukkan kepada konselor dalam lembaga yang syarat dengan muatan-muatan moral, sehingga tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh konselor harus selalu mengacu kepada moral, lebih-lebih dalam hubungannya dengan kegiatan konseling. Setiap masalah pembelajaran, apalagi pembelajaran melalui pelayanan konseling adalah masalah moral. Hal ini benar ketika kita mengacu pada sebuah pertanyaan yang merupakan dasar bagi semua etika : “bagaimana seharusnya saya membelajarkan peserta didik?” Kita dapat berharap bahwa pembelajaran yang kreatif akan berbeda dengan pembelajaran lainnya dalam hal mengasosiasikan hubungan moral dalam proses pembelajaran secara tepat dan memadai. Disini kita dapat menetapkan suatu prinsip dasar bahwa tujuan dari pembelajaran yang berhasil ialah penyesuaian moral secara konstruktif terhadap kehidupan peserta didik. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh konselor yang belum berpengalaman, ialah berusaha mengambil jalan pintas menuju tujuan pembelajaran tanpa memperhatikan implikasi moral dari proses pembelajaran terhadap peserta didik.
3. Pentingnya Kode Etik Profesi
Sebelum menjadi seorang konselor, sebaiknya seseorang dengan kritis dan jujur menilai diri sendiri, apakah secara moral kemauannya cukup kuat dan bersedia memikul tanggungjawab untuk membantu orang lain. Untuk itu, sebaiknya tanyakanlah kepada diri sendiri “Apakah yang saya harapkan dari kegiatan pelayanan konseling ini? Kepuasan dan imbalan apakah yang mungkin saya peroleh dalam membelajarkan orang lain melalui pelayanan konseling? Meskipun alasan-alasan konselor untuk membantu orang lain tidak selamanya murni dan benar-benar bersifat menguntungkan orang lain, tetapi setiap konselor hendaknya selalu terbuka dan menyadari dorongan-dorongan yang mendasari tindakantindakannya, sebab dorongan-dorongan ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan pekerjaannya nanti. Konselor yang beretika adalah, konselor yang dapat mengajukan sebuah pertanyaan yang mendasar bagi semua etika: “bagaimanakah seharusnya saya menjalani hidup?” Sebagaimana halnya kehidupan lain, kehidupan moral dimulai dengan pengekspresian diri seseorang; seperti ekspresi hasrat, dorongan instink, keinginan, dan bentuk-bentuk dorongan internal lainnya. Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks yang terstruktur. Bagaimanapun, hal yang perlu ditekankan disini ialah bahwa tanpa ekspresi diri ini, tidak ada isi kehidupan moral. Dorongan rasa lapar dan seks yang bersifat instintif, hasrat marah, membenci dan mencintai, keinginan untuk berteman dan mencipta, serta semua dorongan lainnya melengkapi materi pengisi moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka moralitas tidak berarti, seperti sebuah sungai yang kering tanpa air mengalir. Konselor dalam memberikan pelayanan konseling kepada seseorang/atau sekelompok orang perlu memberi kebebasan guna menempuh sebuah jalan hidup yang memungkinkan mereka menjadi pribadi yang utuh. Pribadi seperti itu akan diperlukan untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada sukses finansial, yang dapat menimbulkan persaingan materi dan sikap pamrih belaka, berdampak hilangnya nilai manusiawi pada suatu bidang studi, yang pada akhirnya akan mengaburkan nilai-nilai dan tujuan konseling yang telah direncanakan. Moral dan etika dalam konseling akan dapat diwujudkan oleh konselor yang memiliki kompetensi. Kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan suatu tugas profesi tertentu. Kompetensi konselor ialah kompetensi ialah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus ada pada seseorang agar dapat menunjukkan tingkah lakunya sebagai konselor. Kompetensi konselor meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Etika adalah asas-asas atau standar perilaku konselor yang berdasar pada beberapa nilai umum sudah diterima. Ketika sebuah aspirasi kelompok profesional dilakukan dengan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan sebuah elemen yang mempertimbangkan kepercayaan publik, hal ini memerlukan suatu penterjemahan nilai-nilai penting ke dalam sebuah standar-standar etis yang dapat membantu pembentukan keinginan terhadap perilaku dari anggota-anggota dalam hubungan mereka dengan publik atau hubungan satu sama lain. Sebagai kelompok yang muncul dalam usaha untuk berkembang dalam keprofesionalan mereka, standarstandar etis diformulasikan secara umum dengan istilah kode etik. Membuat keputusan secara etis dalam situasi-situasi dimana terjadi konflik antara jaminan-jaminan tampaknya adalah sesuatu yang tidak mudah. Kode etik penting bagi konselor untuk menjadi arahan-arahan dalam keputusan-keputusan etis secara luas, tetapi mereka kadangkadang cukup detail dalam penerapan yang sempurna terhadap situasisituasi etis yang spesifik.Tentu saja, para konselor biasanya melakukan upaya untuk membuat keputusan-keputusan etis yang kompleks dengan berdasarkan kepada sistem-sistem etis internal mereka. Sistem-sistem etis tersebut benar-benar merupakan bagian filosofis diri para konselor dalam konseling. Pada dasarnya, sebuah sistem etis merepresentasikan sebuah hirarki nilai-nilai yang mengijinkan konselor untuk membuat pilihan berdasarkan pada perbedaan level, yaitu level baik atau level buruk. Ketika jaminan-jaminan etis dan keinginan-keinginan yang penting menjadi suatu konflik, konselor sering berhadapan dengan situasi-situasi di mana tidak ada suatu cara yang dapat dilakukan yang dapat membuat sebuah rekonsialisasi yang sempurna terhadap nilai-nilai atau harapanharapan yang muncul. Dalam hal ini, konselor beroperasi pada daerah dimana banyak “bayang-bayang kelabu”. Kemampuan untuk melakukan internalisasi sebuah hirarki nilai pada konselor dapat dilakukan secara etis, efektif, dan mengikuti kata hati yang benar-benar terbentuk dalam diri konselor dalam hal identitas personal dan profesional mereka. Sayangnya banyak para konselor yang tidak benar-benar menyadari siapa sebenarnya dirinya, atau apa yang sebenarnya mereka inginkan. Pada suatu saat mereka ingin menjadi “orang yang membantu” yang mempunyai komitmen yang mendalam untuk membantu orang. Pada saat yang lain, para konselor tersebut ingin menjadi seorang “polisi” atau penjaga komunitas masyarakat terhadap kenyataan atau pelanggaran hukum terhadap seorang individu. Mungkin adalah benar bahwa masyarakat memang memerlukan ”orang yang membantu” dan ”polisi”, tetapi dapat juga benar bahwa dalam beberapa situasi, adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat berperilaku secara etis dan konsisten pada kedua peran tersebut. Salah satu keprihatinan konselor yang paling mendalam bahwa dia ingin menerima seseorang secara konsisten dan etis., Jika dia tidak mempunyai penerimaan seperti ini, para klien tidak akan menaruh kepercayaan dankeyakinan kepadanya, suatu hal yang dibutuhkan dalam pembentukan hubungan profesional yang bersifat membantu. Perilaku yang tidak etis biasanya muncul ketika konselor mengkomunikasikan dirinya sendiri dalam usahanya untuk membentuk sebuah bentuk harapan-harapan tersebut. Sebagai contoh, konselor membentuk situasi konseling verbal atau non verbal dengan tujuan untuk membentuk kepercayaan, perhatian dan keyakinan bersama. Dia kemudian berperilaku dnegan cara mengecewakan harapan-harapan karena dia membuat peran yang lebih besar pada peran kemasyarakatan yang lain. Perilaku yang tidak konsisten ini akan tampak menjadi sesuatu yang tidak etis bagi klien. Hal ini sering terjadi karena kekurangan identitas profesional pada konselor. Konselor yang berhasil dan etis adalah yang dapat berkata-kata dan hidup dalam sebuah hirarki nilai sehingga menjadikan dirinya mampu membuat keputusan yang konsisten terkait dengan jaminan-jaminan terhadap para klien terhadap jaminan-jaminan lainnya. Konselor harus dapat memahami bukan sekedar menjelaskan sebuah situasi sehingga dapat membuat klien menjadi merasa nyaman dengan menolak nilai-nilai yang mungkin terkait dengan diri klien. Ketika seorang konselor menjadi tidak jelas dan bersifat ambigius tentang jaminan-jaminan etis, dia akan dipandang sebagai seseorang yang tidak konsisten dan tidak dapat dipercaya. Pada saat seorang konselor memutuskan suatu hirarki nilai tetapi tidak menemukan kenyamanan klien, kemungkinan dia juga tidak dapat diterima sebagai seorang konselor. Kebanyakan perilaku etis muncul ketika para konselor ingin diterima sebagai konselor, tetapi membuat nilai-nilai yang lebih besar terhadap peran institusional seperti petugas kedisiplinan atau seperti seorang petugas administrasi. Konselor dalam melaksanakan tugas berbagai layanan konseling yang bertujuan membantu individu-individu terdapat berbagai persoalan pokok yang perlu diperhatikan oleh konselor sebagai penyelenggara pelayanan konseling. Hal pokok untuk menghadapi masalah etik, yang harus dilakukan oleh konselor adalah mengembangkan kode etik profesional dan standar tingkah laku “berdasarkan nilai-nilai yang telah disetujui bersama” (Hansen et al,1994:362). Profesional dalam konseling secara sukarela menerima peraturan ini dengan berbagai alasan. Di antara beberapa tujuannya, peraturan tentang perilaku etik dibuat untuk memberikan pernyataan formal yang menjamin perlindungan hak klien, sementara mengidentifikasi ekspektasi dari praktisi (Wilcoxon,1987:510). Alasan lain untuk kode etik ini yaitu bahwa “tanpa pembentukan kode etik, sekelompok orang yang memiliki kesamaan kepentingan tidak dapat dianggap sebagai organisasi profesional” (Allen, 1986:293).
Etik tidak hanya membantu memprofesionalkan asosiasi secara umum, tetapi “dirancang juga untuk memberikan pedoman tingkah laku profesional dari para anggotanya secara pribadi” (Swasson,1983:53). Tiga alasan lain dari keberadaan kode etik menurut Van Hoose dan Kottler (185) adalah sebagai berikut:
a. Kode etik melindungi profesi dari pemerintah. Kode etik memperbolehkan profesi untuk mengatur diri mereka sendiri dan berfungsi sendiri alih-alih dikendalikan oleh undang-undang.
b. Kode etik membantu mengontrol ketidaksepakatan internal dan pertengkaran, sehingga memelihara kestabilan dalam profesi.
c. Kode etik melindungi praktisi dari publik, terutama untuk pengaduan malpraktik. Jika konselor bertindak sesuai dengan batas-batas etik, tingkah lakunya akan dinilai telah memenuhi standar umum.
Selain itu kode etik membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas sebuah profesi dan melindungi klien terhadap penjual obat dan konselor yang kurang kompeten (Vacc, Juhnke, & Nielsen,2001). Seperti konselor, klien juga dapat menggunakan kode etik dan standar, sebagai petunjuk dalam mengevaluasi perawatan yang kurang jelas.
Persoalan pokok yang berkaitan dengan kode etik profesional di dalam penyelenggaraan batuan profesional harus menjadi perhatian serius agar proses konseling dapat berjalan baik dan berhasil baik. Kode etik profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap tenaga profesi dalam menjalankan tugas profesi dan dalam kehidupannya di masyarakat. Norma-norma itu berisi apa yang tidak boleh,apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang diharapkan dari tenaga profesi. Kode etik, bagi seorang konselor adalah sebagai berikut:
a. memberikan pedoman etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak menjalankan tugas profesi konseling;
b. memberikan perlindungan kepada klien (individu pengguna);
c. mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur hubungan konselor dengan klien, rekan sejawat dan tenaga-tenaga profesional yang lain, atasan,lembaga tempat bekerja (jika konselor adalah pegawainya), dan masyarakat;
d. memberikan dasar untuk melakukan penilaian atas kegiatan profesional yang dilakukannya;
e. menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat (public trust) dengan mengusahakan standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi dan menghindari perilaku tidak layak atau tidak patut/pantas;
f. memberikan pedoman berbuat bagi konselor jika mengahadapi dilema etis;
g. menunjukkan kepada konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan masyarakat.
Kode etik sebagai salah satu syarat penting bagi eksistensi profesi konseling atau berbagai jati diri profesi konseling. Kode etik penting mengingat bahwa kode etik penerapannya dengan patuh dan taat asas, penegakkannnya merupakan tolok ukur kualitas pencapaian visi dan misi profesi. Dalam menjalankan tugasnya konselor untuk menunjukkan kinerjanya dengan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional (Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor).
Kode etik menjadi penting sebagai pedoman kerja bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan mendapatkan sanksi. Tujuan ditegakkannya kode etik profesi adalah sebagi berikut:
a. menjunjung tinggi martabat profesi;
b. melindungi pelanggaran dari perbuatan malapraktik;
c. meningkatkan mutu profesi;
d. menjaga standar mutu; dan
e. menegakkan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandang.
Akan sangat melegakan apabila dapat mempercayai bahwa seseorang yang berprofesi sebagai konselor tidak diragukan lagi. Seorang konselor yang kridebel adalah seseorang yang memiliki integritas dan kebajikan serta melakukan tindakan dengan merujuk kepada kode etik profesi yang sempurna. Tetapi hal itu jarang terjadi, ada cukup banyak bukti malpraktik etik di antara konselor dalam menjalankan tugas profesinya.
Meskipun berbagai kode etik ini tidak diragukan lagi dan sangat membantu dalam menyatakan kesatuan pandangan terhadap berbagai dilema etik dalam konseling, namun kenyataannya masih ada ambigius di sana. Penting untuk di catat bahwa kode etik ini dikembangkan bukan hanya untuk melindungi klien dari pelecehan atau malpraktik yang dilakukan oleh konselor, tetapi juga untuk melindungi profesi konseling dari campur tangan pemerintah dan menguatkan klaimnya untuk mengontrol bidang kepakaran profesional tertentu. Komite kode etik dan kode etik praktik berfungsi menunjukkan kepada dunia luar bahwa konseling berjalan sesuai aturan, bahwa konselor dapat diandalkan untuk memberikan layanan profesional.
4. Keterbatasan Kode Etik
Remley (1985:81) mencatat bahwa kode etik itu umum dan idealistis; kurang menjawab pertanyaan yang spesifik. Selain itu, beliau juga menunjukkan bahwa dokumen seperti itu tidak dibahas “dilema profesional yang dapat diprediksi”. Alih-alih kode etik memberikan pedoman, berdasarkan pengalaman dan nilai-nilai, tentang bagaimana seharusnya tingkah laku konselor. Dalam banyak cara, standar etik mewakili kumpulan kebijaksanaan dari seorang profesi dalam kurun waktu tertentu.
Ada sejumlah batasan spesifik dalam kode etik. Di bawah ini beberapa batasan yang paling sering disebutkan (Beymer,1971; Corey, Corey, & Callanan, 2007; Talbutt,1981), sebagai berikut:
a. Beberapa masalah tidak dapat diputuskan dengan kode etik.
b. Pelaksanaan kode etik merupakan hal yang sulit.
c. Standar-standar yang diuraikan dalam kode etik ada kemungkinan saling bertentangan.
d. Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
e. Kode etik adalah dokumen sejarah. Sehingga praktik yang diterima pada suatu kurun waktu mungkin saja dianggap tidak lagi etis di kemudian hari.
f. Terkadang muncul konflik antara peraturan etik dan peraturan legal.
g. Kode etik tidak membahas masalah lintas budaya.
h. Tidak semua kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik.
i. Sering kali sulit menampung keinginan semua pihak, yang terlibat dalam perbincangan etik secara sitematis.
j. Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu konselor dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi baru.
Jadi, kode etik sangat berguna dalam beberapa hal, tetapi juga memiliki keterbatasan. Konselor harus berhati-hati karena tidak semua petunjuk yang mereka butuhkan dapat selalu ditemukan dalam dokumen ini. Meskipun begitu, kapanpun masalah etik timbul dalam konseling,yang pertama kali harus dilakukan konselor adalah memeriksa kode etik untuk melihat apakah ada pembahasan mengenai situasi tersebut.
5. Mengambil Keputusan Etik
Pengambilan keputusan etik tidak selamanya mudah dilakukan, tetapi hal ini merupakan bagian dari tugas seorang konselor. Untuk ini dibutuhkan kualitas seperti karakter, integritas, dan keberanian moral, selain pengetahuan (Welfel,2006).
Beberapa konselor beroperasi dengan standar etik pribadi tanpa berpegangan pada batasan etik yang dibuat oleh asosiasi konseling profesional. Semua itu biasanya berjalan dengan baik sampai akhirnya berhadapan dengan sebuah dilema “yang solusinya tidak jelas atau kelihatannya tidak ada solusi terbaiik”, pada saat itulah muncul masalah etik yang dampaknya konselor menjadi gelisah, ragu, bimbang dan bingung dalam menentukan tindakan. Sayannya, ketika mereka bertindak, tingkah laku mereka kemungkinan menjadi tidak etis, karena tidak didasarkan pada kode etik atau didasarkan hanya pada sebagian peraturan yang mereka ambil untuk membenarkan tindakan mereka.
Studi di New York (Hayman & Covert,1986) menyebutkan, peneliti menemukan lima tipe dilema etik yang paling sering terjadi di antara konselor universitas yang mereka survei, yaitu:
a. kepercayaan,
b. konflik peran,
c. kompetensi konselor,
d. konflik dengan atasan atau institusi, dan
e. tingkat kepentingan.
Situasi dilema yang melibatkan bahaya adalah yang paling mudah dipecahkan, yang paling susah adalah yang berhubungan dengan kompetensi konselor dan kepercayaan. Dari studi ini diperoleh temuan mengejutkan, bahwa hanya kurang dari sepertiga responden yang mengatakan bahwa mereka mengandalkan kode etik profesional yang sudah dipublikasikan dalam menyelesaikan permasalahan. Alih-alih, sebagian besar responden menggunakan “akal sehat,” sebuah strategi yang kadang-kadang secara profesionalitas tidak etis dan kurang bijaksana. Konselor harus berpedoman pada sumber daya untuk pengambilan keputusan yang beretika, seperti buku-buku dan artikel etik serta rekan kerja yang lebih berpengalaman (Welfel, 2006), hal ini untuk mengatasi situasi sulit, gelap, dan mengganggu yang dirasakan oleh seorang konselorsecara pribadi. Sumber daya seperti ini sangat penting ketika muncul pertanyaan mengenai perilaku yang berpotensi kontroversial seperti mengatur atau mengumpukan upah, menjalin beragam hubungan, atau bekerja dengan orang yang pendapat dan gayanya tidak sesuai dengan konselor.
Alasan etik, “suatu proses pengambilan keputusan yang melibatkan prinsip etik dan kemudian memprioritaskan berdasarkan persyaratan dan pendapat profesional,” merupakan hal yang krusial (Lanning,1992:21).
Konselor dalam melakukan pengambilan keputusan etik, harus ”berdasarkan pemikiran yang hati-hati dan reflektif” mengenai respons yang mereka anggap benar dari sudut profesionalitas pada situasi tertentu. Beberapa prinsip etik yang berhubungan dengan aktivitas dan pilihan etik konselor:
a. Beneficence/perbuatan baik (melakukan yang baik dan mencegah kerugian).
b. Nonmaleficence (tidak mengakibatkan kerugian/rasa sakit).
c. Autonomy/otonomi (memberikan kebebasan dalam memilih dan pengambilan keputusan sendiri).
d. Justice/keadilan,dan
e. Fidelity/kesetiaan (kesetiaan atau berpegang pada komitmen) (Ramley & Herlihy, 2005; Wilcoxon et al., 2007).
Konselor dalam proses pelayanan konselig yang melibatkan pengambilan keputusan secara sadar wajib mengacu pada prinsip tersebut. Dari prinsip-prinsip tersebut, beberapa ahli mengidentifikasi nonmaleficence sebagai tanggungjawab etik yang utama dalam bidang konseling. Nonmaleficence tidak hanya melibatkan “penghapusan kerugian/rasa sakit sekarang” tetapi juga “ pencegahan kerugian/rasa sakit di masa yang akan datang, dan penghindaran kerugian secara pasif” (Thompson, 1990:105). Ini merupakan dasar yang digunakan konselor dalam merespons klien yang mungkin membahayakan diri sendiri atau orang lain dan alasan mereka merespon tingkah laku di luar etika dari rekan kerja mereka (Daniluk & Haverkam,1993).
Pengambilan keputusan etik dalam konseling dapat ditingkatkan dalam banyak cara, tetapi salah satu cara terbaik adalah mengikuti kursus dan melanjutkan pendidikan yang sekarang diisyaratkan dalam banyak program konseling lanjutan, dan untuk memperbaharui lisensi konselor profesional.
Van Hoose dan Paradise (1979) mengkonsep tingkah laku etik konselor dalam lima tingkatan perkembangan pertimbangan yang berkesinambungan, sebagaimana tertera dibawah ini:
a. Orientasi hukuman. Pada tingkatan ini, konselor menganggap satndar sosial eksternal (dari luar) adalah dasar untuk menilai tingkah laku. Jika klien atau konselor melanggar aturan sosial, mereka harus dihukum.
b. Orientasi institusional. Konselor yang beroperasi pada tingkatan ini percaya dan berpegang pada aturan institusi tempat mereka bekerja. Mereka tidak meragukan aturan tersebut dan mendasarkan keputusan mereka pada aturan tersebut.
c. Orientasi sosial. Pada tingkatan ini konselor mendasarkan keputusan yang diambilnya pada standar sosial. Jika timbul pertanyaan tentang apakah kepentingan sosial atau individual yang harus diutamakan, kepentingan sosial selalu mendapat prioritas.
d. Orientasi individu. Kebutuhan individual mendapat prioritas utama pada tingkatan ini. Konselor memperhatikan kebutuhan sosial dan hukum yang berlaku,tetapi mereka fokus pada apa yang terbaik untuk individu.
e. Orientasi prinsip hati nurani. Pada tingkatan ini kepedulian satusatunya adalah pada individu. Keputusan yang beretika diambil berdasarkan standar etika internal, bukan pertimbangan eksternal.


Sumber :




1 komentar:

  1. Stainless steel bars | Titanium Bars, Salsa & Dip - Titianium
    Stainless steel can titanium rings be resized bars are crafted with a blend venza titanium glow of stainless steel and titanium alloy. titanium key ring Perfect for everything from ford edge titanium hot babyliss pro titanium sauces to desserts.

    BalasHapus